Loading...

Islam Dan Keberpihakan Kepada Kaum Dhuafa

Administrator 06 Juni 2017 6228 kali dilihat
Bagikan:
Islam Dan Keberpihakan Kepada Kaum Dhuafa
Sebagai konsekwensi dari kehadiran manusia di dunia, setiap orang ingin selalu memperoleh kecukupan materi. Namun, pada kenyataannya, tidak semua orang dapat memenuhi kecukupan materi secara layak. Bahkan banyak diantara mereka adalah dhuafa. Memang, jika harus memilih, tidak seorangpun yang bercita-cita ingin hidup miskin termasuk mereka yang disebut orang miskin atau dhuafa. Oleh karena itu kaum dhuafa khususnya dari segi ekonomi yang secara umum dikenal dengan kaum miskin atau kemiskinan ditengarai umurnya sudah sangat tua sejalan dengan sejarah manusia di muka bumi ini. Dalam struktur manusia manapun, kelompok dhuafa akan selalu ada. Oleh karenanya, mereka harus mendapatkan perhatian, baik oleh mereka yang kaya, lembaga sosial masyarakat atau pemerintah, bukan malah dijadikan sebagai komoditas atau diekploitasi untuk kepentingan pribadi atau golongan. Seorang ilmuan besar Prof. Muhammad Farid Wajdi, sebagaimana dikutif oleh Al-Qordhowi, mengatakan pada bangsa manapun jika diteliti hanya ada dua golongan manusia dan tidak ada ketiganya, yakni golongan yang berkecukupan yang dan golongan yang melarat bahkan lebih dari itu, golongan yang berkecukupan akan semakin makmur tak terbatas, sedangkan golongan yang miskin akan semakin melarat, sehingga seakan-akan tercampak ke tanah. Dalam hal ini, Wajdi menampilkan bukti-bukti sejarah Mesir kuno, bangsa Yunani  Athena, kerajaan Babilonia dan bangsa Romawi dimana golongan melarat atau miskin tetap saja melarat dan tidak mendapatkan apa-apa meskipun mereka hidup di negeri yang subur, makmur dan rezeki yang begitu melimpah, mereka layakanya “anak ayam mati di lumbung padi”.

Di sinilah agama datang untuk memberikan pencerahan serta penjelasan menyangkut kedua golongan tersebut. Kaya dan miskin, bahkan  keberpihakan kepada kaum lemah bukan hanya monopoli agama islam, akan tetapi juga menjadi perhatian seluruh penganut agama, sebab jika kehadiran sebuah agama tidak bisa memberi manfaat bagi kehidupan manusia, maka agama seperti ini tidak dibutuhkan oleh manusia. Dalam perjanjian lama Taurat, misalnya sebagaimana dikutip oleh Al-Qordhowi disebutkan “maka apabila diantara kamu adalah orang miskin, yaitu daripada saudara-saudaramu yang duduk sebelah dalam pintu gerbangmu dalam negeri yang dikaruniakan Tuhan kepadamu, maka janganlah kamu berkeras hati atau mengatupkan tangan daripada saudaramu yang miskin. Melainkan kau melakukan hendaklah membuka tanganmu kepadanya dengan murahnya, dan berilah ia pinjam dengan limpahnya yang cukup akan kekurangannya, seberapa banyak ia hajatkan. Berilah dan jangan picik hatimu apabila kamu memberi ia, karena perbuatan murah yang demikian akan diperhatikan Tuhanmu.”

Namun, agama di luar islam masih sebatas anjuran atau masih sekedar menunjukan sikap tidak senang kepada mereka yang tidak menaruh perhatian kepada kaum lemah jika mereka ingin membantu itu hanya berkaitan dengan kemurahan hati individu-individunya. Agama-agama selain islam masih belum menunjukan sikap yang tegas berkenaan dengan relasi orang-orang kaya dan orang miskin. Lebih lanjut, Al-Qordhowi menyampaikan keterangannnya terkait dengan kelebihan islam dibanding dengan agama-agama lain, dalam membangun keberpihakan terhadap kaum dhuafa
1. Perhatian mereka belum sampai pada tingkatan yang lebih tinggi, yakni instruksi wajib, dimana orang yang tidak melaksanakannya tidak dianggap melaksanakan kewajiban-kewajiban agama.
2. Realisasi perbuatan baik terserah kepada kemurahan hati pribadi-pribadi saja, sedangkan negara tidak berwenang untuk mengumpulkan dan mendistribusikannya.
3. Bentuk dan kekayaan seperti apa yang harus didermakan serta seberapa besar jumlahnya, masih belum jelas sehingga agama tidak bisa mengambil inisiatif-inisiatif untuk mengambil harta derma tersebut.
4. Tujuan perhatiannya tidak dimaksudkan untuk menanggulangi problem kemiskinan dan memberantas akarnya.

Dengan demikian, membangun keberpihakan kepada kaum dhuafa dan mustadh’afin akan selalu menjadi concern (perhatian) bagi islam semata-mata untuk menciptakan kehidupan kemanusiaan yang damai dan aman, sebagai kelanjutan agama islam pembawa rahmatal lil’alamin. Oleh karena itu, dakwah para nabi dan rasul diarahkan kepada dua tujuan, yakni penguatan tauhid dan membangun keberpihakan kepada kaum dhuafa. Tauhid sebagai landasan moral dan spiritual, sedangkan keberpihakan kepada dhuafa merupakan aplikasi dari ketauhidan tersebut. Lebih tegasnya tauhid yang tidak menumbuhkan sikap keberpihakan kepada kaum dhuafa adalah tidak mempunyai nilai di mata Allah Swt.

Kesungguhan islam dalam membangun keberpihakan kepada kaum dhuafa (lemah fisik) dan mustadh’afin (terlemahklan oleh struktur), bisa dilihat dari beberapa ayat di dalam Al-Qur’an. Bahkan islam telah menumbuhkan rasa kepedulian sosial sejak awal kehadirannya atau pada periode Mekah awal, padahal syariat zakat diturunkan pada periode Madinah. Hal tersebut bisa dilihat, salah satunya di dalam QS Al-Mudatsir ayat 38-44 :
Setiap orang bertanggung jawab atas apa yang dilakukan, kecuali golongan kanan, berada di dalam syurga, mereka saling menanyakan, tentang orang-orang yang berdosa “apa yang menyebabkan kamu masuk ke dalam neraka saqor? Mereka menjawab, dahulu kami tidak termasuk orang-orang yang melaksanakan sholat dan kami tidak juga memberikan makanan orang miskin.” (QS Al-Mudatsir 38-44).

Dalam tulisan ini, pencantuman ayat tanpa diseleksi ayat makkiyah dan madaniyah. Hal ini karena ayat-ayat tersebut hanya sebagai bukti keberpihakan islam kepada kaum dhuafa, dan bukan dimaksudkan untuk pemberdayaan terhadap mereka. (AH)