Loading...

Zakat Dalam Pemberdayaan Kaum Dhuafa

Administrator 06 Juni 2017 997 kali dilihat
Bagikan:
Zakat Dalam Pemberdayaan Kaum Dhuafa
Adanya perbedaan penghidupan dan kehidupan antara seseorang atau satu kelompok dengan orang atau kelompok lain, sesungguhnya merupakan suatu sunnatullah (aturan Allah) yang bersifat pasti dan tetap, kapan dan di mana pun. Kaya dan miskin akan selalu ada, sama halnya seperti adanya siang dan malam, sehat dan sakit, tua dan muda, serta lain sebagainya. Allah SWT berfirman:
Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kamilah yang menentukan penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat memanfaatkan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan. (Az-Zukhruf: 32)

Namun perbedaan tersebut bukanlah untuk dipertentangkan apalagi sampai melahirkan pertentangan antar-kelas, akan tetapi untuk disillaturrahimkan dan dipertemukan dalam bingkai ta‘awun atau saling menolong, membantu, mendukung, dan mengisi antara yang satu dengan yang lainnya. Betul, orang miskin membutuhkan orang kaya, akan tetapi orang kaya juga sangat membutuhkan orang miskin dan kaum dhuafa lainnya. Allah SWT berfirman:
Dan Dialah yang menjadikan kamu sebagai khalifah-khalifah di bumi dan Dia mengangkat (derajat) sebagian kamu di atas yang lain, untuk mengujimu atas (karunia) yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu sangat cepat memberi hukuman dan sungguh, Dia Maha Pengampun, Maha Penyayang. (Al-An‘am: 165)

Ber-wala atau tolong-menolong dan bersinergi antara sesama orang-orang yang beriman (termasuk antara kelompok kaya dengan kelompok miskin) akan melahirkan kekuatan, sekaligus mengundang rahmat dan pertolongan Allah SWT. Dalam hal ini, Allah SWT berfirman:
Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, melaksanakan salat, menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah. Sungguh, Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana. (At-Taubah: 71)

Rasulullah SAW mengilustrasikan hubungan yang satu dengan yang lainnya ibarat satu bangunan yang saling mengokohkan atau ibarat satu tubuh yang jika satu anggotanya sakit, maka anggota tubuh yang lainnya akan merasakan sakit juga. Rasulullah SAW bersabda :
Orang mukmin terhadap mukmin yang lainnya ibarat sebuah bangunan yang saling menguatkan antara satu dengan yang lainnya. (HR Bukhari, Muslim, At-Tirmizi, An-Nasa’i, dan Ibnu Hibban dari Abu Musa)

Dalam hadis lain Rasulullah bersabda:
Engkau akan melihat orang-orang yang beriman dalam kasih sayang mereka, dalam kecintaan mereka dan dalam keakraban mereka antar sesamanya adalah bagaikan satu tubuh. Apabila salah satu anggotanya merasakan sakit, maka sakitnya itu akan merembet ke seluruh tubuhnya, sehingga (semua anggota tubuhnya) merasa sakit, dan merasakan demam (karenanya). (HR Bukhari dari An-Nu‘man bin Basyir)

Rasulullah SAW menggambarkan pula bahwa setiap kelompok umat memiliki ciri khusus dan kebaikan masing-masing yang apabila dipadukan akan melahirkan sebuah dinamika yang baik, yang mampu memberikan solusi pada setiap masalah kehidupan yang dihadapi. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ad-Dailami, Rasulullah SAW bersabda:
Adil itu adalah perbuatan yang baik, dan bagi para pejabat itu sungguh lebih baik. Kepemurahan itu adalah baik, dan bagi orang kaya itu jauh lebih baik. Teliti dan hati-hati adalah baik, dan bagi para ulama jauh lebih baik. Sabar itu baik, dan bagi orang-orang fakir jauh lebih baik. Taubat itu adalah baik, dan bagi para pemuda itu jauh lebih baik. Malu itu adalah baik, dan bagi perempuan itu jauh lebih baik. (HR Ad-Dailami dari ‘Umar)

Betapa besar perhatian ajaran Islam terhadap kaum dhuafa bisa dilihat dari berbagai aturan, terutama yang berkaitan dengan pengeluaran harta (al-mal). Berikut ini dikemukakan beberapa contoh:
Pertama, zakat diutamakan untuk kesejahteraan fakir miskin yang merupakan mustahiq utamanya. Allah SWT berfirman:
Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) hamha sahaya, untuk (membebaskan) orang yang berutang, untuk jalan Allah, dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana, (at-Taubah: 60)

Kedua, infak dan shodaqoh (di luar zakat) salah satu fungsinya untuk menyejahterakan fakir-miskin, di samping untuk kerabat, ibnu sabil, maupun anak yatim. Allah SWT berfirman:
Kebajikan itu bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan ke barat, tetapi kebajikan itu ialah (kebajikan) orang yang beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab, dan nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, orang-orang yang dalam perjalanan (musafir), peminta-minta, dan untuk memerdekakan hamba sahaya, yang melaksanakan salat dan menunaikan zakat, orang-orang yang menepati janji apabila berjanji, dan orang yang sabar dalam kemelaratan, penderitaan, dan pada masa peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar, dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa. (al-Baqarah: 177)

Ketiga, pembayaran fidyah bagi yang tidak mampu berpuasa diberikan untuk orang-orang miskin. Allah SWT berfirman:
(Yaitu) beberapa hari tertentu. Maka barang siapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang ia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin. Tetapi barang siapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itu lebih baik baginya, dan puasamu itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui, (Al- Baqarah: 184)

Keempat, salah satu alternatif kifarat (denda pelanggaran) sumpah adalah memberikan makanan atau pakaian untuk fakir miskin. Allah SWT berfirman:
Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak disengaja (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kafaramya (denda pelanggaran sumpah) ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi mereka pakaian atau memerdekakan seorang hamba sahaya. Barang siapa tidak mampu melakukannya, maka (kafaramya) berpuasalah tiga hari. Itulah kafarat sumpah-sumpahmu apabila kamu bersumpah. Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan hukum-hukum-Nya kepadamu agar kamu bersyukur (kepada-Nya). (al-Ma’idah: 89)

Kelima, memperhatikan fakir miskin dianggap sebagai “al-‘aqabah” (menaiki tangga yang berat), yang mengundang nilai dan pahala yang besar dari Allah SWT. Allah SWT berfirman:
Tetapi ia tidak menempuh jalan yang mendaki dan sukar? Dan tahukah kamu apakah jalan yang mendaki dan sukar itu? (yaitu) melepaskan perbudakan (hamba sahaya), atau memberi makan pada hari terjadi kelaparan, (kepada) anak yatim yang ada hubungan kerabat, atau orang miskin yang sangat fakir. (Al-Balad:11-16)

Keenam, bahkan ajaran Islam menumbuhkan dan membangkitkan semangat kaum dhuafa yang sewaktu-waktu menjadi pemimpin dan pewaris kepemimpinan di muka bumi. Allah SWT berfirman:
Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi (Mesir) itu, dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi). (Al-Qasas:5)

Sebaliknya, tidak memperhatikan mereka, melalui program-program dan aksi-aksi yang konkret, dianggap sama dengan mendustakan agama. Allah Swt berfirman:
Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Maka itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak mendorong memberi makan orang miskin. (al-Ma‘un: 1-3)

Al-Qur’an pun mengingatkan bahwa salah satu penyebab terjadinya kegelisahan hidup adalah karena tidak memerhatikan dan tidak saling mengajak untuk menolong orang-orang miskin. Perhatikan firman Allah SWT:
Maka adapun manusia, apabila Tuhan mengujinya lalu memuliakannya dan memberinya kesenangan, maka ia berkata, “Tuhanku telah memuliakanku.” Namun apabila Tuhan mengujinya lalu membatasi rezekinya, maka ia berkata, “Tuhanku telah menghinaku.” Sekali-kali tidak! Bahkan kamu tidak memuliakan anak yatim, dan kamu tidak saling mengajak memberi makan orang miskin, sedangkan kamu memakan harta warisan dengan cara mencampurbaurkan (yang halal dan yang haram), dan kamu mencintai harta dengan kecintaan yang berlebihan. (Al-Fajr: 15-20). (AH)