Indonesia dikenal dengan negara yang kaya akan budaya, suku
dan Etnis ke bhinekaan menjadi suatu hal yang unik untuk ditelisik sejarahnya,
salah satunya ialah Etnis Tionghoa
Etnis Tionghoa tersebar di hampir seluruh penjuru Indonesia, tak terkecuali di tanah pasundan. Jejak Tionghoa pun turut terekam ada di Kota Cimahi yang dibuktikan dengan deretan bangunan mengadopsi arsitektur Belanda dan Cina.
Di kawasan Pasar Atas misalnya. Terdapat beberapa bangunan
yang memang mencirikan bahwa etnis Tionghoa pernah menduduki daerah tersebut.
Dari sejarah disebutkan pula jika keberadaan mereka di kawasan itu sebagai
pelaku perniagaan alias pedagang.
"Tahun pastinya kedatangan warga Tionghoa ke Cimahi
saya belum temukan. Tapi saat Belanda membangun Garnizun pada 1896, mereka
(Tionghoa) sudah ada. Bisa jadi lebih dulu ketimbang Garnizun," ujar
Machmud Mubarok.
Kawasan Pecinan di sekitaran Pasar Atas Cimahi dulunya
dikenal sebagai Kampung Cina atau Chinesse Wijk dalam bahasa Belanda. Namun
seiring perkembangan zaman, tanda-tanda keberadaan Tionghoa di Cimahi mulai
terkikis.
Namun setidaknya masih tersisa remah-remah tanda ekspansi
etnis Cina di Cimahi, misalnya di Jalan Wiganda atau Babakan masih ada rumah
dengan hiasan patung hewan dan ornamen khas Cina. Lalu di Pacinan ada rumah
arsitektur Belanda yang dihuni orang Cina.
"Di Jalan Djulaeha Karmita ada rumah-rumah tua
bertingkat corak Cina dan Eropa. itu semuanya di kawasan Pasar Atas yang
dulunya satu kawasan buat orang-orang Cina," Tambahnya.
Terselip satu cerita yang cukup mencengangkan. Tatkala
Cimahi masih berada di masa pendudukan Belanda dan segala keterbatasan
masyarakat, warga Tionghoa pula lah yang diketahui merupakan pemilik pertama
televisi di Cimahi.
"Di Cimahi itu ada Toko Kim Kim yang dikenal sebagai
toko swalayan pertama. Bahkan dia juga pemilik televisi pertama di Cimahi.
Warga Kalidam dan Gatot Subroto sering nonton tv itu ya di Toko Kim Kim. Tapi
karena jejak G30S PKI, tokonya tak buka lagi sampai sekarang," katanya.
Berdasarkan data dari arsip Belanda pada tahun 1930 jumlah
penduduk Cimahi sebanyak 59.993 orang. Dari jumlah tersebut, etnis Tionghoa di
Cimahi hanya 2,3% saja dari jumlah penduduk dengan komposisi 58 persen
laki-laki dan 42 persen wanita.
Untuk keperluan peribadatan Machmud menerka jika mereka terintegrasi
dengan Vihara atau kelenteng di Kota Bandung. Hal itu dibuktikan dengan tidak
adanya Vihara di Cimahi.
"Sepertinya mereka menginduk ke Bandung. Jadi
orang-orang Cina di Cimahi kalau mau ke kelenteng atau Vihara harus ke Bandung.
Tapi dulu ada satu tempat yang dijadikan sebagai tempat ibadah yaitu tempatnya
perkumpulan orang-orang Cina di Cimahi yang disebut Chung Hwa Chung Hwi,"
jelas Machmud.
Seiring bertambahnya tahun, komunitas warga Tionghoa di
Cimahi mulai tersisihkan. Mereka memilih menghindar bergaul dengan orang
pribumi. Namun mengenang tahun sebelum pecahnya G30SPKI perayaan Imlek di
Cimahi berlangsung dengan sangat meriah.
"Kalau sebelum tahun 1965, perayaan Imlek di Cimahi
ramai sekali. Barongsai dan pawai itu sudah lumrah. Saat G30S PKI pecah mereka
mulai menghindar. Lalu di tahun 1980-an baru berbaur lagi," pungkasnya.
Perkembangan jaman tak membuat rasa ke bhinekaan warga
masyarakat Cimahi meluntur, justru dengan adanya beragam etnis yang membentuk
lingkungan.masyarakat Heterogen hal ini membuat rasa toleransi dan keguyuban di
Kota Cimahi semakin berjalan secara baik.