Kota Cimahi Jawa Barat yang selama
ini identik dengan julukan "Kota Tentara" karena menjadi tempat
berbagai pusat pendidikan ketentaraan di Indonesia, ternyata memiliki sisi lain
yang unik dan bisa menjadi daya tarik tersendiri.
Empat tahun sejak dinobatkan
sebagai Kota Militer, pada 2018 lalu, Cimahi ternyata menyimpan berbagai macam
potensi pariwisata dari hal tersebut.
Sebut saja Rumah Sakit Dustira,
rumah sakit yang berdiri sejak zaman kolonialisme Belanda ini merupakan
salah satu rumah sakit yang masih mempertahankan gaya arsitektur, Neo klasikal
yang identik dengan bangunan Eropa di era tahun 1800-an.
Selain Rumah Sakit Dustira masih
ada beberapa bangunan bersejarah di Kota Cimahi yang dapat menjadi daya tarik
bagi masyarakat khususnya dalam sektor pariwisata untuk memperkenalkan kota
dengan luas 40,37 KM ² tersebut, sebut saja Kawasan Tahanan Militer Poncol,
hingga Gedung The Historich.
Untuk mendukung hal hal
tersebut, Pemerintah Daerah Kota Cimahi
pada tahun 2022 ini, meluncurkan program "Cimahi Military Heritage
Tourism" (Cimtage).
Program tersebut merupakan konsep edu wisata, untuk mengenali bangunan
militer bersejarah di Kota Cimahi.
Dengan lokasinya yang strategis
Kota Cimahi menjadi salah satu kota dengan tingkat kemajuan pembangunan dan
pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi di wilayah Jawa Barat, membuat kota
Cimahi perlu lebih memperkenalkan keciri khasannya kepada masyarakat, salah
satu terobosan yang sedang dilakukan oleh pemerintah daerah Kota Cimahi adalah
meningkatkan "Branding" melalui program edu wisata
"Cimtage".
Selain potensi pariwisata di bidang
sejarah kemiliteran, masih ada beberapa destinasi wisata yang dapat menjadi
tujuan dari warga masyarakat untuk lebih mengenal "kota hijau" ini.
Bergeser ke selatan Kota Cimahi,
ada satu wilayah, pedesaan yang sangat
asri dan masih mengedepankan nilai-nilai tradisional Sunda.
Wilayah tersebut bernama
"Kampung Adat Cirendeu" yang terletak di Kelurahan Leuwigajah
kecamatan Cimahi Selatan.
Nama Cirendeu sendiri berasal dari
nama “pohon reundeu”, karena sebelumnya di kampung ini banyak sekali populasi
pohon reundeu. Pohon reundeu itu sendiri ialah pohon untuk bahan obat
herbal. Maka dari itu kampung ini di
sebut Kampung Cireundeu.
Terdiri dari 50 kepala keluarga
atau 800 jiwa, yang sebagia besar bermata pencaharian bertani ketela. Kampung
Adat Cireundeu sendiri memiliki luas 64 ha terdiri dari 60 ha untuk pertanian
dan 4 ha untuk pemukiman. Sebagian besar penduduknya memeluk dan memegang teguh
kepercayaan Sunda Wiwitan hingga saat
ini.
Sejak 1924 masyarakat adat
Cireundeu mulai mengonsumsi ketela hingga saat ini. Masyarakat adat mengolah
singkong dengan cara digiling, diendapkan dan disaring menjadi aci atau sagu.
Ampas dari olahan sagu yang dikeringkan juga dibuat menjadi rasi atau beras
singkong. Tidak hanya itu, singkongpun diolah menjadi berbagai camilan seperti
opak, egg roll, cireng, simping, bolu, bahkan dendeng kulit singkong yang
dikemas dan dijual sebagai oleh-oleh.
Dua Puluh Satu tahun berlalu sejak
pendirian Kota Cimahi sebagai Kota otonom, ternyata kota ini begitu banyak
menyimpan potensi pariwisata yang belum diketahui oleh sebagian masyarakat,
kemajuan teknologi dan peningkatan literasi serta pemanfaatan potensi yang ada
menjadikan Cimahi sebagai suatu kota yang memiliki keunikan untuk dijelajahi
tak hanya soal kehidupan masyarakatnya namun juga potensi pariwisata yang
ada didalamnya.