Loading...

MTQ dan Membumikan Al-Qur’an

Administrator 23 April 2018 1666 kali dilihat
Bagikan:
MTQ dan Membumikan Al-Qur’an
Kegiatan Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) XXXV Tingkat Provinsi Jawa Barat tahun 2018 telah dibuka oleh Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan. Dalam pesan sambutannya, beliau mengingatkan kita tentang kewajiban mengimani terhadap kitab suci Al-Quran. Ada banyak kewajiban yang harus kita lakukan untuk menghadirkan Al-Quran dalam kehidupan nyata.

MTQ sejatinya diharapkan tidak hanya menjadi ajang kompetisi untuk memilih yang terbaik. Tetapi lebih dari itu, pesan moral yang disampaikan dalam ajang tersebut adalah mengajak umat Islam agar lebih memuliakan, mengagungkan, dan membumikan Al-Quran di bumi Jawa Barat.

Bukti Kebenaran Al-Quran Al-Quran mempunyai sekian banyak fungsi. Di antaranya adalah menjadi bukti kebenaran Nabi Muhammad saw. Bukti kebenaran tersebut dikemukakan dalam tantangan yang sifatnya bertahap. Pertama, menantang siapa pun yang meragukannya untuk menyusun semacam Al-Quran secara keseluruhan (baca QS 52:34). Kedua, menantang mereka untuk menyusun sepuluh surah semacam Al-Quran (baca QS 11:13). Seluruh Al-Quran berisikan 114 surah. Ketiga, menantang mereka untuk menyusun satu surah saja semacam Al-Quran (baca QS 10:38). Keempat, menantang mereka untuk menyusun sesuatu seperti atau lebih kurang sama dengan satu surah dari Al-Quran (baca QS 2:23).

Dalam hal ini, Al-Quran menegaskan: “Katakanlah (hai Muhammad) sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al-Quran ini, niscaya mereka tidak akan mampu membuat yang serupa dengannya, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain.” (QS 17 :88). 

Seorang ahli berkomentar bahwa tantangan yang sedemikian lantang ini tidak dapat dikemukakan oleh seseorang kecuali jika ia memiliki satu dari dua sifat gila atau sangat yakin. Nabi Muhammad Saw sangat yakin akan wahyu-wahyu dari Allah Swt, karena "Wahyu adalah informasi yang diyakini dengan sebenarnya bersumber dari Allah Swt, Tuhan semesta alam."

Walaupun Al-Quran menjadi bukti kebenaran Nabi Muhammad Saw, tapi fungsi utamanya adalah menjadi petunjuk untuk seluruh umat manusia. Petunjuk yang dimaksud adalah petunjuk agama, atau yang biasa juga disebut sebagai syari'at. Syari'at dari segi pengertian kebahasaan, berarti ‘jalan menuju sumber air’. Jasmani manusia, bahkan seluruh makhluk hidup, membutuhkan air, demi kelangsungan hidupnya. Ruhaninya pun membutuhkan ‘air kehidupan’. Di sini, syari'at mengantarkan seseorang menuju air kehidupan itu. 

Dalam syari'at ditemukan sekian banyak rambu-rambu jalan, ada yang berwarna merah yang berarti larangan, ada pula yang berwarna kuning, yang memerlukan kehati-hatian, dan ada yang hijau warnanya, yang melambangkan kebolehan melanjutkan perjalanan. Ini semua hampir sama dengan lampu-lampu lalu lintas. Lampu merah tidak memperlambat seseorang sampai ke tujuan. Bahkan ia merupakan salah satu faktor utama yang memelihara pejalan dari mara bahaya. Demikian juga halnya dengan "lampu-lampu merah" atau larangan-larangan agama. Kita sangat membutuhkan peraturan-peraturan lalu lintas demi memelihara keselamatan kita. Demikian juga dengan peraturan lalu lintas menuju kehidupan yang lebih jauh, kehidupan sesudah mati. Di sini, siapakah yang seharusnya membuat peraturan-peraturan menuju perjalanan yang sangat jauh itu?

Manusia memiliki kelemahan-kelemahan. Antara lain, ia seringkali bersifat egoistis. Disamping itu, pengetahuannya sangat terbatas. Lantaran itu, jika ia yang diserahi menyusun peraturan lalulintas menuju kehidupan sesudah mati, maka diduga keras bahwa ia, di samping hanya akan menguntungkan dirinya sendiri, juga akan sangat terbatas bahkan keliru, karena ia tidak mengetahui apa yang akan terjadi setelah kematian. 

Jika demikian, yang harus menyusunnya adalah sesuatu yang tidak bersifat egoistis, yang tidak mempunyai sedikit kepentingan pun, sekaligus memiliki pengetahuan yang Maha Luas. Sesuatu itu adalah Tuhan Yang Mahaesa, dan peraturan yang dibuatnya itu dinamai "agama". 

Faktanya, tidak semua manusia dapat berhubungan langsung secara jelas dengan sang Kholiq, guna memperoleh informasi-Nya. Karena itu, Allah Swt memilih orang-orang tertentu, yang memiliki kesucian jiwa dan kecerdasan pikiran untuk menyampaikan informasi tersebut kepada mereka. Mereka yang terpilih itu dinamai Nabi atau Rasul. 

Karena sifat egoistis manusia, maka ia tidak mempercayai informasi-informasi Tuhan yang disampaikan oleh para Nabi itu. Mereka bahkan tidak percaya bahwa manusia-manusia terpilih itu adalah Nabi-nabi yang mendapat tugas khusus dari Tuhan. Untuk meyakinkan manusia, para Nabi atau Rasul diberi bukti-bukti yang pasti dan terjangkau. 

Bukti-bukti tersebut merupakan hal-hal tertentu yang tidak mungkin dapat mereka, sebagai manusia biasa (bukan pilihan Tuhan) lakukan. Bukti-bukti tersebut dalam bahasa agama dinamai "mukjizat". Para Nabi atau Rasul terdahulu memiliki mukjizat-mukjizat yang bersifat temporal, lokal, dan material. Ini disebabkan karena misi mereka terbatas pada daerah tertentu dan waktu tertentu. Ini jelas berbeda dengan misi Nabi Muhammad Saw. Beliau diutus untuk seluruh umat manusia, di mana dan kapan pun hingga akhir zaman. Pengutusan ini juga memerlukan mukjizat. Dan karena sifat pengutusan itu, maka bukti kebenaran beliau juga tidak mungkin bersifat lokal, temporal, dan material. 

Bukti itu harus bersifat universal, kekal, dapat dipikirkan dan dibuktikan kebenarannya oleh akal manusia. Di sinilah terletak fungsi Al-Quran sebagai mukjizat. Paling tidak ada tiga aspek dalam Al-Quran yang dapat menjadi bukti kebenaran Nabi Muhammad Saw, sekaligus menjadi bukti bahwa seluruh informasi atau petunjuk yang disampaikannya adalah benar bersumber dari Allah SWT. 

Ketiga aspek tersebut akan lebih meyakinkan lagi, bila diketahui bahwa Nabi Muhammad bukanlah seorang yang pandai membaca dan menulis. Ia juga tidak hidup dan bermukim di tengah-tengah masyarakat yang relatif telah mengenal peradaban, seperti Mesir, Persia atau Romawi. Beliau dibesarkan dan hidup di tengah-tengah kaum yang oleh beliau sendiri dilukiskan sebagai "Kami adalah masyarakat yang tidak pandai menulis dan berhitung." Inilah sebabnya, konon, sehingga angka yang tertinggi yang mereka ketahui adalah tujuh. Inilah latar belakang, mengapa mereka mengartikan "tujuh langit" sebagai "banyak langit."

Al-Quran juga menyatakan bahwa seandainya Rasulullah Saw dapat membaca atau menulis pastilah akan ada yang meragukan kenabian beliau. Ketiga aspek yang dimaksud di atas adalah sebagai berikut. Pertama, aspek keindahan dan ketelitian redaksi-redaksinya. Tidak mudah untuk menguraikan hal ini, khususnya bagi kita yang tidak memahami dan memiliki "rasa bahasa" Arab, karena keindahan diperoleh melalui "perasaan", bukan melalui nalar. Namun demikian, ada satu atau dua hal menyangkut redaksi Al-Quran yang dapat membantu pemahaman aspek pertama ini. Seperti diketahui, seringkali Al-Quran "turun" secara spontan, guna menjawab pertanyaan atau mengomentari peristiwa. Misalnya pertanyaan orang Yahudi tentang hakikat ruh. Pertanyaan ini dijawab secara langsung, dan tentunya spontanitas tersebut tidak memberi peluang untuk berpikir dan menyusun jawaban dengan redaksi yang indah apalagi teliti. 

Namun demikian, setelah Al-Quran rampung diturunkan dan kemudian dilakukan analisis serta perhitungan tentang redaksi-redaksinya, ditemukanlah hal-hal yang sangat menakjubkan. Ditemukan adanya keseimbangan yang sangat serasi antara kata-kata yang digunakannya, seperti keserasian jumlah dua kata yang bertolak belakang.

Dari pemaparan tersebut diatas, mari kita amalkan pesan dari MTQ XXXV di Pelabuhanratu dengan tiga hal. Kewajiban pertama adalah kita mengimani seluruh Ayat Alquran yang turun kepada Nabi Muhammad SAW. "Pilihan kita di hadapan Alquran hanya dua, beriman atau tidak beriman. Kita harus mengimani seluruhnya, tidak bisa kita meninggalkan satu ayat pun dari Alquran untuk kita ragukan dan tidak kita yakini.

Kewajiban kedua, terhadap Al-Quran kita harus membaca, mentadabburi, dan melaksanakannya dengan baik. Membaca Alquran adalah ibadah kita kepada Allah. Tidak ada bacaan yang hanya dengan membacanya saja mengandung ibadah dan pahala kepada Allah, kecuali membaca Alquran.

Kewajiban ketiga adalah mari kita laksanakan Alquran dengan baik dalam kehidupan kita, dan kita yakini dengan baik. (AH)