Loading...

Ayo Sukseskan Program Vaksinasi Massal Rabies Untuk Mempertahankan Cimahi Bebas Rabies

Administrator 24 Maret 2014 2079 kali dilihat
Bagikan:
NotFound

Oleh : dr. Irfan Fazar Ramadan

 

Sejarah Rabies

Rabies atau dikenal sebagai Lyssa, Tollwut,Hydrophobia, atau di Indonesia dikenal sebagai Anjing Gila adalah infeksi viral dan akut pada susunan saraf yang klinis ditandai kelumpuhan yang progresif dan berakhir dengan kematian. Penyakit ini dapat menginfeksi semua hewan berdarah panas dan merupakan masalah pada manusia karena bersifat zoonosis (menular dari hewan ke manusia). Rabies merupakan salah satu penyakit tertua dan paling ditakuti manusia, pertama kali dikenal di Mesir (Zaman Pemerintahan Kerajaan Babilonia) dan Yunani Kuno sekitar tahun 2300 sebelum Masehi.


Rabies selanjutnya ditemukan di sebagian besar dunia, termasuk Indonesia. Sedangkan Negara-negara yang bebas rabies adalah Australia, Selandia Baru, Inggris, Belanda, Kepulauan Hawaii (Amerika Serikat), dan sejumlah pulau-pulau terpencil di Pasifik. Tiap-tiap negara yang mengenal rabies mempunyai vektor-vektor utama sendiri. Di Amerika Selatan dan Tengah yang beriklim tropis, anjing, kucing, kelelawar penghisap darah (vampire) dan kelelawar pemakan serangga memegang peranan sebagai vektor rabies. Di seluruh Negara di Afrika yang memegang peranan sebagai penyebar utama ialah anjing, kucing, jakal dan monggus. Di Timur Tengah yang meneruskan rabies terutama pada lembu yaitu anjing, dan anjing hutan (wolves). Sedangkan di Asia yang berperanan sebagai penyebar rabies adalah anjing dan kucing.

 

Penyebab Rabies

Penyebab Rabies disebabkan oleh virus yang termasuk dalam keluarga Rhabdoviridae dan genus Lyssavirus. Rhabdovirus merupakan golongan virus yang bentuknya menyerupai peluru, dengan panjang kira-kira 180 nm dan garis tengahnya 75 nm. Pada permukaannya terdapat bentuk-bentuk pancang (spikes) yang panjangnya 9 nm. Virus rabies peka terhadap panas. Suspensi virus sudah diinaktifkan pada suhu 50 selama 15 menit. Fenol, eter, chloroform, formaldehid dan basa ammonium kuartener dapat menginaktifkan virus rabies.

Gejala Klinis

Gejala klinis rabies mirip pada sebagian besar spesies, tetapi sangat bervariasi antar individu. Setelah terjadi gigitan hewan penderita rabies, masa inkubasi biasanya antara 14-90 hari tetapi bisa sampai 2 tahun. 95% masa inkubasi rabies 3-4 bulan, dan hanya 1% kasus dengan inkubasi 7 hari sampai 2 tahun. Karena lamanya masa inkubasi tersebut kadang-kadang pasien tidak dapat mengingat kapan terjadinya gigitan. Gejala klinis pada hewan dikenal dua bentuk yaitu bentuk beringas dan bentuk paralisis. Bentuk beringas hewan menjadi gelisah, gugup, agresif dan menggigit apa saja yang ditemuinya, respon berlebihan pada suara dan sinar, takut air (hydrophobia) dan keluar air liur berlebihan (hipersalivasi). Bentuk paralisis ditandai dengan ensefalitis disertai kelemahan bagian belakang tubuh yang menyebabkan hewan berjalan terhuyung-huyung, keganasan berubah menjadi kelumpuhan, kejang-kejang, koma dan terhentinya pernafasan hingga berakhir dengan kematian.


Rabies di Indonesia merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius karena hampir selalu menyebabkan kematian (always almost fatal) setelah timbul gejala klinis dengan tingkat kematian sampai 100%.

Rabies pada manusia biasanya melalui kontak dengan binatang anjing, kera, kucing, serigala, kelelawar melalui gigitan atau kontak virus lewat air liur dengan luka. Infeksi lain yaitu melalui inhalasi dilaporkan pada orang yang mengunjungi gua-gua kelelewar tanpa adanya gigitan. Virus masuk ke dalam ujung saraf yang ada pada otot di tempat gigitan dan memasuki ujung saraf tepi sampai mencapai sistem saraf pusat yang biasanya pada sumsum tulang belakang selanjutnya menyerang otak. Gejala awal rabies pada manusia berupa demam disertai rasa kesemutan pada tempat gigitan, malaise (rasa tidak enak badan), mual, dan rasa nyeri di tenggorokan. Selanjutnya disusul dengan gejala cemas, gelisah dan reaksi berlebihan terhadap rangsangan sensoris (stimulus-sensitive myoclonus). Tonus otot dan aktivitas simpatik menjadi meninggi dengan gejala-gejala hipersalivasi, hiperlakrimasi, pupil dilatasi dan paralisis, koma kemudian berakhir dengan kematian.

 

Sejarah Rabies di Indonesia

Rabies di Indonesia pertama kali ditemukan pada kerbau oleh Esser (1884), anjing oleh Penning (1889), dan pada manusia oleh E.V.de Haan (1894) yang ketiganya ditemukan di Jawa Barat. Selanjutnya beberapa tahun kemudian kasus rabies ditemukan di Sumatera Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur (1953), Sumatera Utara (1956), Sumatera Selatan dan Sulawesi Utara (1958), Sumatera Selatan (1959), Aceh (1970), Jambi dan Yogyakarta (1971), Kalimantan Timur (1974), Riau (1975), Kalimantan Tengah (1978), Kalimantan Selatan (1983), Pulau Flores NTT (1997), Pulau Ambon dan Pulau seram (2003).


Dengan tertularnya Bali sebagai daerah wabah baru sejak 1 Desember 2008 melalui Peraturan menteri Pertanian No.1637/2008 maka daerah bebas sampai saat ini adalah NTB, NTT kecuali Pulau Flores, Maluku, Irian Jaya (sekarang Papua), Kalimantan Barat, Pulau Madura dan sekitarnya, Pulau-pulau di sekitar Pulau Sumetera, Jawa Timur, Yogyakarta, dan Jawa Tengah.


Rabies pada manusia telah menimbulkan banyak korban. Dari tahun 1977 hingga 1978 sebelas provinsi mencatat 142 kasus rabies pada manusia. Selama periode 1979-1983 di Indonesia telah dilaporkan 298 kasus rabies dengan rata-rata 60 kasus per tahun.


Penyebaran daerah rabies berjalan terus sampai sekarang. Pada dekade Sembilan puluhan kejadian di Pulau Sumetera per tahun tidak kurang dari 1000 kasus hewan ditemukan menderita rabies. Sedangkan kasus rabies yang dilaporkan di Pulau Flores selama tahun 1997-2005 dari 11.786 jumlah gigitan hewan penular rabies (HPR), sebanyak 149 orang dinyatakan meninggal (1,35%).


Insiden rata-rata per tahun kasus rabies pada manusia memang kecil dibandingkan dengan penyakit menular lainnya namun efek psikologisnya sangat besar terutama pada manusia yang telah digigit anjing dan secara ekonomis sangat merugikan karena dapat mengancam kepariwisataan.

 

Situasi penyakit rabies di Kota Cimahi

Selama kurun waktu 1985 – 2013, hampir seluruh kabupaten/kota yang ada di Provinsi Jawa Barat pernah mengalami kasus penyakit rabies baik pada hewan maupun manusia. Kasus terakhir tercatat di Kabupaten Bandung pada seekor kucing (2013) dan Kabupaten Garut pada seekor anjing (2013) yang menyebabkan seorang petugas kesehatan hewan meninggal.


Saat ini Kota Cimahi dikategorikan sebagai daerah bebas penyakit rabies. Hal ini berdasarkan aturan yang dikeluarkan oleh Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE) yang menyatakan bahwa suatu wilayah atau daerah dapat dikatakan sebagai wilayah/daerah bebas rabies jika dalam 2 tahun terakhir tidak terdapat kasus rabies pada hewan. Berdasarkan database penyakit hewan di Dinas Peternakan Provinsi Jawa barat, kasus rabies yang terjadi dan terlaporkan di Kota Cimahi terakhir kali adalah tahun 1995-1996 di kelurahan Leuwigajah pada hewan anjing. Hingga saat ini, tidak ada kasus rabies yang terjadi pada hewan. Namun demikian, karena Kota Cimahi merupakan daerah perlintasan dari lalu lintas hewan penular rabies (HPR) seperti anjing dan kucing serta berbatasan sangat dekat dengan kabupaten yang sedang terjadi kasus, sehingga Kota Cimahi dikategorikan sebagai daerah bebas yang terancam.


Walaupun kasus rabies tidak terjadi di Kota Cimahi, kasus gigitan hewan penular rabies (GHPR) masih sering terjadi di Kota Cimahi. Tidak kurang dari 5 kasus GHPR terjadi setiap tahunnya di Kota Cimahi. Namun demikian dengan koordinasi yang baik antara Puskeswan dan Puskesmas, Dinas Kopindagtan dan Dinas Kesehatan serta peran masyarakat yang mau melaporkan kasus GHPR, maka kasus GHPR tersebut tidak sampai menjadi kasus Lyssa/rabies pada manusia.

 

Pencegahan dan Pengendalian

Sebagai upaya pencegahan dan pengendalian rabies dalam rangka mempertahankan Kota Cimahi Bebas Rabies, ada beberapa tindakan atau kegiatan yang harus dilakukan yaitu :


1. Hindarkan gigitan anjing dan tidak meliarkan HPR terutama anjing ;
2. Vaksinasi HPR (anjing, kucing, kera) secara rutin dan teratur ;
3. Kontrol populasi HPR terutama anjing ;
4. Tatalaksana kasus GHPR yang tepat dan cepat ;
5. Kontrol lalu lintas HPR (terutama anjing dan kucing) ;
6. Peran serta aktif masyarakat untuk memvaksinasi HPR dan melaporkan kasus GHPR.

Dari 6 tindakan untuk mencegah dan mengendalikan penyakit rabies, Vaksinasi HPR merupakan cara yang paling efektif. Saat ini diperkirakan populasi HPR di Kota Cimahi mencapai 2.000 ekor yang terdiri dari anjing, kucing dan kera. Untuk itu, Diskopindagtan menargetkan untuk memvaksinasi seluruh HPR yang ada di Kota Cimahi. Dengan cakupan vaksinasi yang tinggi, maka diharapkan penyakit rabies akan terus bebas di Kota Cimahi.


Pelaksanaan vaksinasi rabies di Kota Cimahi akan dilakukan secara massal secara bertahap di 15 kelurahan yang ada di Kota Cimahi. Adapun pelaksanaan vaksinasi massal rabies dilakukan 2 kali/putaran dalam setahun yaitu putaran I pada bulan April-Mei dan putaran II pada bulan Agustus-September dirangkaikan dengan pelaksanaan vaksinasi Flu Burung pada unggas.


Berikut jadwal vaksinasi massal rabies yang dirangkaikan dengan vaksinasi Flu Burung pada unggas di Kota Cimahi tahun 2014.

 

NO

Kelurahan

Tanggal

Putaran I

Putaran II

1

Cibabat

1 s/d 4 April 2014

4 s/d 8 Agustus 2014

2

Pasirkaliki

1 s/d 4 April 2014

4 s/d 8 Agustus 2014

3

Cipageran

7 s/d 11 April 2014

11 s/d 15 Agustus 2014

4

Citeureup

7 s/d 11 April 2014

11 s/d 15 Agustus 2014

5

Cimahi

14 s/d 17 April 2014

18 s/d 22 Agustus 2014

6

Karang mekar

14 s/d 17 April 2014

18 s/d 22 Agustus 2014

7

Setiamanah

21 s/d 25 April 2014

25 s/d 29 Agustus 2014

8

Cigugur Tengah

21 s/d 25 April 2014

25 s/d 29 Agustus 2014

9

Baros

28 April s/d 2 Mei 2014

1 s/d 5 September 2014

10

Padasuka

28 April s/d 2 Mei 2014

1 s/d 5 September 2014

11

Melong

5 s/d 9 Mei 2014

8 s/d 12 September 2014

12

Cibeureum

5 s/d 9 Mei 2014

8 s/d 12 September 2014

13

Leuwigajah

12, 13, 14 dan 16 Mei 2014

15 s/d 19 September 2014

14

Utama

19 s/d 23 Mei 2014

15 s/d 19 September 2014

15

Cibeber

19 s/d 23 Mei 2014

22 s/d 26 September 2014

 

Selain vaksinasi, peran serta aktif masyarakat untuk memvaksinasi HPR dan melaporkan setiap kasus GHPR juga sangat penting. Tanpa adanya kesadaran masyarakat pemilik HPR untuk memvaksinasi HPR, maka program vaksinasi massal rabies tidak akan berjalan dengan baik dan usaha untuk mempertahankan Kota Cimahi bebas rabies akan sulit dilakukan.

Oleh karena itu, kami mengajak kepada seluruh warga masyarakat Kota Cimahi yang memiliki HPR untuk secara aktif memvaksinasi HPR nya secara rutin pada vaksinasi massal rabies putaran I yang dilaksanakan di bulan April – Mei dan putaran II yang dilaksanakan di bulan Agustus – September jika terlewatkan di vaksinasi massal putaran I.

 

“Ayo vaksinasi HPR anda, gratis lho.......”

“Pertahankan Cimahi Bebas Rabies Selamanya, Viva..Viva..Viva..Yes”