Ada beberapa keutamaan besar yang bisa didapat saat menyantuni anak yatim dan sudah dijelaskan secara lengkap lewat hadits dari Rasulullah SAW seperti yang akan diulas berikut ini.
Orang-orang yang memuliakan anak yatim sebagai orang-orang yang berbuat baik, beriman, benar, dan bertakwa.
Seperti Firman Allah:
Kebajikan itu bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan ke barat, tetapi kebajikan itu ialah (kebajikan) orang yang beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab, dan nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, orang-orang yang dalam perjalanan (musafir), peminta-minta, dan untuk memerdekakan hamba sahaya, yang melaksanakan salat dan menunaikan zakat, orang-orang yang menepati janji apabila berjanji, dan orang yang sabar dalam kemelaratan, penderitaan dan pada masa peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar, dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa. (al-Baqarah: 177)
Al-birr berbuat kebaikan sebesar- besarnya, berasal dari kata al-barr yaitu daratan yang luas. Biasanya dinisbahkan kepada Allah (at-Tur: 28) yang berarti pahala, jika dinisbahkan kepada hamba berarti ketaatan. Kata al-birr biasanya dikaitkan dengan perbuatan, seperti pada Surah al-Baqarah:189. Kata al-birr mencakup bukan hanya perbuatan, tetapi i‘qad (keyakinan), kewajiban, dan nawafil (amalan sunah). Ketika Rasulullah Saw ditanya tentang al-birr, maka beliau membacakan ayat ini. Di dalam Al-Qur’an kata al-birr tidak ada yang digandengkan dengan al-walidain, yang ada dengan biwdlidaih dan biwdlidati. (Maryam: 14 dan 32). Dalam ayat 177 al-birr disebutkan untuk membantah perkataan orang-orang Ahli Kitab yang menganggap orang Islam mendapat al-birr (kebaikan) selama mereka salat menghadap kiblat ke baitul-maqdis. Ketika kiblat mereka beralih ke Ka‘bah baitulldh al-haram di Mekah, mereka mengejek orang Mukmin dengan mengatakan bahwa Muslimin telah kehilangan al-birr. Menafikan al-birr, dan menghadap arah kiblat hanyalah sarana jangan sampai orang menyibukkan diri dan menfokuskan perhatian hanya pada hal tersebut. Oleh sebab itu Allah Swt menggugurkan kewajiban menghadap kiblat bagi orang yang lupa dan salat sunah ketika berada di atas kendaraan. Allah Swt ingin mengingatkan faktor yang lebih penting dari al-birr yaitu iman dan takwa yang menjadi tujuan syariat.
Pada ayat 177 ini, Allah Swt menjelaskan kepada semua umat manusia, bahwa kebajikan itu bukanlah sekadar menghadap muka kepada suatu arah yang tertentu, baik ke arah timur maupun ke arah barat, tetapi kebajikan yang sebenarnya ialah beriman kepada Allah Swt dengan sesungguhnya, iman yang bersemayam di lubuk hati yang dapat menenteramkan jiwa, yang dapat menunjukkan kebenaran dan mencegah diri dari segala macam dorongan hawa nafsu dan kejahatan.
Bila dicermati ayat tersebut di atas secara lengkap dari awal sampai akhir ayat ada 6 sifat dari ciri-ciri orang yang bertakwa dan berbuat kebajikan termasuk di dalamnya menginfakkan harta kepada anak yatim, keenam sifat ini merupakan pesan moral dari ayat tersebut. Keenam sifat itu ialah: 1) beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab dan nabi, yang tersimpul dalam rukun iman 2) menginfakkan hartanya kepada orang- orang yang dicintainya, karib-kerabat, anak-anak yatim, fakir miskin, musafir, dan hamba sahaya 3) mendirikan salat 4) menunaikan zakat 5) menepati janji, dan 6) sabar dalam masa kemelaratan, penderitaan dan masa perang.
Jadi ayat ini memberikan penjelasan, bahwa berbuat baik kepada anak-anak yatim termasuk perbuatan orang orang beriman, benar, terpuji, dan perilaku takwa.
Suka memberi makan anak yatim tanpa pamrih termasuk perbuatan terpuji
Seperti firman Allah: Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan, (sambil berkata), “Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah karena mengharapkan keridaan Allah, kami tidak mengharap balasan dan terima kasih dari kamu. (al-Insan: 8-9)
Ayat tersebut di atas menjelaskan orang-orang yang berbuat baik, memberikan makan kepada orang yang dicintai, yaitu orang-orang miskin, anak yatim, dan tawanan dengan ikhlas, tanpa pamrih, hanya mengharapkan pahala dari Allah Swt, tidak mengharapkan balasan dan ucapan syukur dari orang yang diberi makan. Tetapi yang diharapkan adalah dijauhkan dari siksaan di mana pada suatu hari banyak orang berwajah masam dan penuh kesulitan.
Dalam hadis Nabi Saw, menyebutkan bahwa orang yang mengasihani dan merawat anak yatim kedudukannya dekat dengan Nabi kelak di surga, seperti dekatnya jari telunjuk jari tengah. Seperti dalam sabdanya:
“Bahwa saya dan orang-orang yang memelihara anak yatim dengan baik akan berada di surga, bagaikan dekatnya jari telunjuk dengan jari tengah, lalu Nabi mengangkat tangannya dan memperlihatkan jari telunjuk dan jari tengahnya, lalu ia renggangkan.” (Riwayat al-Bukhari).
Hal senada juga disebutkan dalam hadis lain:
“Pengasuh anak yatim, baik keluarganya sendiri maupun anak orang lain, akan bersama saya di surga, bagaikan jari telunjuk dan jari tengah.” (Riwayat Muslim).
Bahkan siapa yang menyertakan seorang anak yatim dalam makanan dan minumannya, pasti masuk surga. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw:
“Barang siapa yang mengikutsertakan seorang anak yatim di tengah dua orang tua yang Muslim, dalam makan dan minumnya, sampai ia berkecukupan, maka orang itu pasti akan masuk surga.” (Riwayat Abu YaTa dan at-Tabrani).
Dalam hadis lain disebutkan, siapa yang memberi makan anak yatim, akan dilunakkan hatinya, dan kebutuhannya akan dipenuhi. Seperti hadis Nabi:
“Ada seorang laki-laki yang datang kepada Nabi Saw mengeluhkan kekerasan hatinya. Nabi bertanya: Sukakah kamu, jika hatimu menjadi lunak dan kebutuhanmu terpenuhi? Kasihanilah anak yatim, usaplah kepalanya, dan beri makananlah dari makananmu niscaya hatimu akan lunak dan kebutuhanmu akan terpenuhi.” (Riwayat at-Tabrani)
Pekerjaan berat bagi orang yang memelihara harta benda anak yatim
Seperti digambarkan dalam firman Allah:
Dan tahukah kamu apakah jalan yang mendaki dan sukar itu? (yaitu) melepaskan perbudakan (hamba sahaya), atau memberi makan pada hari terjadi kelaparan, (kepada) anak yatim yang ada hubungan kerabat, atau orang miskin yang sangat fakir. (al-Balad: 12-16)
Kata maqorabah terambil dari kata qurb, yang berarti dekat. Kedekatan yang dimaksud dapat berupa kedekatan keke rabatan dan dapat juga kedekatan secara mutlak, termasuk dalam kedekatan hubungan darah, jenis dan tempat, sehingga dapat tercakup hubungan tetangga, kebangsaan, bahkan kemanusiaan. Kata qurb dalam berbagai bentuknya menurut ar-Ragib al-Asfahani, mencakup hubungan, baik menyangkut kedudukan, pemeliharaan, maupun kekuasaan. Al-Qur’an menggunakannya untuk makna-makna itu. Yang menyangkut waktu, misalnya Surah al-Anbiya’: 97, yang menyangkut tempat, misalnya Surah at-Taubah: 28, yang menyangkut kedudukan, seperti Surah an-Nisa’: 172, yang menyangkut pemeliharaan, seperti Surah al-Baqarah: 186, dan yang menyangkut kekuasaan (pengetahuan), seperti Surah Qaf: 16.
Kata miskin terambil dari kata sakana, yang berarti menetap, tidak bergerak, tunduk, hina, dan lemah. Dari makna-makna di atas, dapat tergambar bagaimana keadaan seseorang yang dinamai miskin. Sayyid Muhammad Rasyid Rida dalam Tafsir al-Mannar mengemukakan dua jenis orang miskin. Pertama, adalah yang tidak memiliki sesuatu, tidak pula mampu berusaha karena lemahnya. Kedua, adalah yang tadinya memiliki harta benda, tetapi habis karena keborosannya atau karena kemalasannya mengembangkan harta yang tadinya ia miliki, atau karena perjudian atau penipuan sehingga kehilangan kepercayaan. Yang pertama hendaknya dibantu dengan materi, atau tenaga, atau diberi hak guna usaha agar ia dapat memenuhi kebutuhannya, sedang yang kedua, tidak wajib diberi bantuan materi, tetapi hendaknya terlebih dahulu diberi peringatan atau pengajaran, agar ia sadar dan dapat bangkit dari keteledoran.
Kata matrabah terambil dari kata turab, yang berarti tanah. Fakhruddin ar-Razi, mengartikan miskinan dza matrabah dengan “orang miskin yang tidak mendapat tempat tinggal kecuali di tanah, tidak punya apa-apa yang dapat menutupi tubuhnya dari atas maupun dari bawah, tubuhnya menempel dengan tanah.” Atau dalam istilah kita dewasa ini orang-orang yang tinggal di daerah kumuh, atau para gelandangan dan anak jalanan.
Pelayanan kepada anak yatim dan kaum terlantar walaupun dalam redaksi ayat yang ditafsirkan ini terbatas pada memberi makan, namun pada hakikatnya hal tersebut hanyalah sebagai salah satu contoh dari pelayanan dan perlindungan yang diharapkan. Mereka juga membutuhkan pendidikan, pelayanan kesehatan dan rasa aman. Tanpa semua itu, mereka akan dapat terjerumus dalam kebejatan moral, yang dampak negatifnya tidak hanya terbatas pada diri mereka saja, tetapi juga dapat mempengaruhi lingkungannya, bahkan dapat mengakibatkan terganggunya ketenangan masyarakat.
Sebenarnya tidaklah tepat, jika dianggap bahwa perbudakan telah benar-benar hilang dari permukaan bumi ini, walaupun bentuknya mungkin tidak lagi sepenuhnya sama dengan perbudakan masa lampau.
Syeikh Mahmud Syaltut, seperti dikutip oleh M. Quraish Shihab mengemukakan, pada tahun enam puluhan, bentuk baru dari perbudakan yang dikenal, yaitu penjajahan. Bahwa perbudakan dalam bentuk lama, boleh dikatakan telah punah, sebagaimana diharapkan oleh Islam. Menurut pandangan saya perbudakan bentuk lama itu, telah digantikan tempatnya oleh perbudakan masa kini, yang lebih berbahaya terhadap kemanusiaan, yakni perbudakan terhadap bangsa-bangsa dalam pikiran-pikiran mereka, harta benda, kekuasaan serta kemerdekaan negara-negara mereka.” Setelah menguraikan tentang perlunya pembebasan manusia dari perbudakan dan segala bentuk penganiayaan atau katakanlah perlunya menegakkan perikemanusiaan, maka langkah kedua adalah upaya menyebarluaskan keadilan sosial yakni dengan firman-Nya:
Atau memberi makan pada hari terjadi kelaparan. (al-Balad/90: 14)
Dalam Surah al-Ma‘un: 3, berbeda dengan ayat di atas, dinyatakan yahuddu ‘ala tha‘amil-miskin, tidak mendorong memberi makan orang miskin.
Berikut ini penjelasan M. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah. Perbedaan ini agaknya disebabkan karena ayat pada Surah al-Ma‘un itu hendak menekankan kepada setiap orang dan pada situasi apa pun bahwa masing-masing mereka punya atau tidak punya berkewajiban untuk menganjurkan pemberian pangan kepada anak-anak yatim dan orang miskin dan bahwa yang memberi pangan itu, apalagi yang menganjurkannya harus menyadari bahwa pangan tersebut bukan miliknya, tetapi hanya berada dalam penguasaannya. Pangan yang dianjurkan untuk diberikan itu, adalah hak orang-orang yang butuh. Di sisi lain, situasi yang mereka hadapi ketika itu adalah situasi normal, bukan keadaan yang digambarkan oleh ayat yang ditafsirkan ini sebagai situasi masghabah. Di samping itu harus ingat bahwa ayat ini berbicara tentang al-‘aqabah, atau jalan mendaki yang sulit, berbeda dengan ayat pada Surah al-Ma‘un.
Letak kesulitannya paling tidak dari dua sisi. Pertama, pemberian makan tersebut terjadi pada situasi masghabah yang menurut para pakar bahasa terambil dari kata saghiba yang berarti lapar disertai dengan keletihan, dan atau dahaga yang disertai kepayahan Ia adalah masa krisis pangan yang melanda satu masyarakat.
Kesulitan kedua, diisyaratkan oleh penggunaan kata it‘am, yang memberi kesan, bahwa makanan yang diberikan itu adalah milik si pemberi, bukan hak si penerima. Kesan ini lebih kuat lagi dengan adanya bacaan ath‘ama/memberi makan bukan ith‘am. Memang merupakan jalan mendaki, bila Anda memberi makan orang lain pada saat paceklik, sedang Anda sendiri membutuhkan makanan itu.
Ayat-ayat di atas menjelaskan siapa yang seharusnya mendapat prioritas untuk memperoleh makanan itu. Mereka adalah anak yatim, anak belum baligh telah wafat ayahnya dan yang serupa dengan mereka yang ada hubungan kedekatan atau orang miskin yang sangat fakir yang sangat membutuhkan bantuan. Wallahu ‘a’lam. (AH)