Tak perlu baper saat melihat kemakmuran beberapa teman yang dulu miskin dan minder. Itu hanya satu bukti bahwa kecerdasaan finansial bisa mempengaruhi tingkat kemakmuran seseorang. Anda penasaran, apa itu kecerdasan finansial?
William Tanuwidjaja dalam buku “8 Intisari Kecerdasan Finansial” mendefinisikan kecerdasan finansial sebagai kecerdasan untuk mengelola sumber daya (resources) potensial menjadi kekayaan riil, kemudian mengolah kekayaan menjadi kekayaan yang lebih banyak lagi. Jadi sederhananya, kecerdasan finansial adalah kecerdasan dalam mengelola uang.
Menurut William, jika dikelola dengan benar, kekayaan (aset) tertentu bisa memberikan passive income, yaitu penghasilan otomatis yang diterima pemiliknya tanpa harus bekerja secara fisik. Bahkan, pada titik tertentu hasil pengelolaan kekayaan mampu mendatangkan investasi yang cukup untuk membiayai kebutuhan hidup pemiliknya. Artinya, yang bekerja dan mendatangkan penghasilan bukan lagi pemiliknya, melainkan aset itu sendiri. Pada posisi inilah si pemilik bebas menentukan apakah dia akan berhenti atau tetap bekerja.
Keren, bukan? Tentu, proses yang digambarkan William bisa terjadi jika seseorang mengoptimalkan kecerdasan finansialnya. Apakah kecerdasan finansial sudah dimiliki seseorang sejak lahir atau bisa dipelajari?
Kecerdasan finansial bukan bakat yang diturunkan, melainkan bisa diperlajari dan bisa di-upgrade. Jadi, Anda bisa mengenalkannya sejak dini kepada anak-anak melalui pendidikan finansial. Anda tidak perlu khawatir anak-anak menjadi ‘mata duitan’, karena mereka bukan diajari cara meraup uang sebanyak-banyaknya, tetapi cara bijak dalam mengelola uang. Uang yang banyak jika tidak dikelola secara cerdas, pasti akan habis tak berbekas.
Anda tidak perlu menunggu sampai punya banyak uang lebih dahulu untuk memulai pendidikan finansial. Sebuah pendidikan pasti bertujuan untuk menjadikan anak menjadi terdidik dan cerdas. Jadi, fokusnya bukan pada seberapa banyak uang yang dimiliki, tetapi seberapa cerdas mengelolanya. Anak diajarkan untuk bisa memutuskan uangnya akan digunakan untuk apa, akan dihabiskan atau tidak, akan disimpan atau dijadikan modal usaha, dan sebagainya.
Untuk mengajarkannya kepada anak, Anda bisa memulainya dengan cara berikut ini:
Pertama, samakan persepsi Anda dan anak-anak mengenai uang. Uang memang bukan segalanya, bukan tujuan akhir, tetapi uang adalah aset, alat, sekaligus hasil dari sebuah usaha. Semakin keras seseorang berusaha, insya Allah semakin banyak uang yang diperoleh.
Kedua, pastikan tujuan yang ingin dicapai ketika anak punya banyak uang. Tujuan harus realistis dan positif. Hidup memang membutuhkan uang, tetapi jangan sampai uang menjadi tujuan akhir kehidupan, karena anak akan puas setelah mendapatkannya. Ia tidak akan berpikir kreatif bagaimana menggunakan uangnya selain hanya untuk membeli sesuatu. Tidak ada manfaat lain yang diterimanya.
Sebaliknya, dengan menjadikan uang sebagai tujuan antara, anak bisa diarahkan bahwa dia bisa membahagiakan orang lain dengan uangnya. Pada titik ini, Anda bisa mengajarkan nikmatnya berbagi dan bersedekah. Anda pasti pernah mendapatkan rezeki yang tidak disangka-sangka saat uang belanja nyaris habis. Ada baiknya pengalaman ini Anda ceritakan kepada anak.
Ketiga, ajari anak untuk menyisihkan sebagian uang sakunya untuk ditabung dan menjelaskan manfaat yang bisa didapat. Celengan berbentuk lucu bisa dijadikan penyemangat bagi mereka. Pada saat yang tepat, Anda bisa mulai mengenalkan mereka dengan lembaga keuangan.
Keempat, libatkan anak dalam kerjasama usaha, misalnya berdagang. Tidak penting seberapa besar andil modal anak. Yang penting, anak belajar bahwa dia bisa berbuat lebih besar dengan uangnya.
Nah, ternyata pendidikan finansial bisa dimulai dari rumah, bukan? (AH)