Hari Tani Nasional merupakan bentuk peringatan dalam mengenang sejarah perjuangan kaum petani serta membebaskannya dari penderitaan. Oleh karena itu ditetapkan Hari Tani ini, yang diambil dari tanggal dikeluarkannya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) pada tahun 1960.
Kemudian hari tersebut menjadi tonggak sejarah bangsa dalam memandang arti penting petani dan hak kepemilikan atas tanah, serta keberlanjutan masa depan agraria di Indonesia. Kepedulian negara terhadap hidup rakyatnya, terutama kehidupan para petani mulai diwujudkan. Mengingat Indonesia adalah negara agraris dan mayoritas rakyatnya adalah petani.
1. Awal Perjuangan
Sejak lepas dari cengkraman Belanda, pemerintah
Indonesia selalu berusaha merumuskan UU Agraria baru untuk mengganti UU Agraria
kolonial.
Pada tahun 1948, ketika itu ibu kota Republik
Indonesia (RI) berkedudukan di Yogyakarta. Penyelenggara negara membentuk
panitia agraria Yogya.
Namun, akibat gejolak politik, usaha itupun
kandas.
Setelah diadakan Konferensi Meja Bundar (KMB)
pada 27 Desember 1949 dan persetujuan antara Republik Indonesia dengan Belanda,
atas pengakuan kedaulatan politik Negara Indonesia, maka ibukota RI kembali ke
Jakarta.
Kemudian, Panitia Agraria Yogya diteruskan di
Jakarta pada tahun 1951, dengan nama Panitia Agraria Jakarta. Dalam
perkembangannya, berbagai panitia yang telah terbentuk, gagal dan
tersendat-sendat.
Panitia Agraria Jakarta yang sempat mandeg diteruskan oleh Panitia Soewahjo (1955), Panitia Negara Urusan Agraria (1956), Rancangan Soenarjo (1958) dan Rancangan Sadjarwo (1960).
2. Membersihkan Sisa-sisa Kolonial
Belanda yang masih tidak rela melepaskan wilayah Irian Barat, terus mengulur penyelesaian. Hal ini kemudian membuat Indonesia memberikan tindakan tegas dengan membatalkan perjanjian KMB secara sepihak pada tahun 1956. Diikuti dengan nasionalisasi perkebunan-perkebunan asing.
Pemerintah RI kemudian mengeluarkan UU No 1 tahun 1958, tentang penghapusan tanah-tanah partikelir. Tanah tersebut oleh penguasa kolonial disewakan atau dijual kepada orang-orang kaya, dengan disertai hak-hak pertuanan (landheerlijke rechten). Hak pertuanan artinya sang tuan tanah berkuasa atas tanah, beserta orang-orang di dalamnya. Misalnya, hak mengangkat dan memberhentikan kepala desa, menuntut rodi atau uang pengganti rodi, dan mengadakan pungutan-pungutan. Hak dipertuanan itu seperti negara dalam negara.
Dengan UU No 1 tahun 1958 itu, hak-hak pertuanan hanya boleh dimiliki oleh negara. Kemudian upaya mengambil alih lahan asing ke tangan rakyat atau petani, dilakukan dengan ganti rugi. Artinya, reforma agraria dikoordinasikan oleh pemerintah dengan cara ganti rugi untuk meminimalisasi adanya konflik.
3. Rancangan Undang-undang Pembaruan Agraria
Tibalah masa penantian selama 12 tahun, melalui prakarsa Menteri Pertanian 1959, Soenaryo. Rancangan Undang-Undang itu digodok Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) yang kala itu dipimpin Zainul Arifin.
Pada sidang DPR-GR tanggal 12 September 1960, Menteri Agraria saat itu, Mr Sardjarwo dalam pidato pengantarnya menyatakan, "...perjuangan perombakan hukum agraria nasional berjalan erat dengan sejarah perjuangan bangsa Indonesia untuk melepaskan diri dari cengkraman, pengaruh, dan sisa-sisa penjajahan, khususnya perjuangan rakyat tani untuk membebaskan diri dari kekangan-kekangan sistem feodal atas tanah dan pemerasan kaum modal asing."
Kemudian, pada pada 24 September 1960, RUU tersebut disetujui DPR sebagai UU No 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, atau dikenal dengan Undang-Undang Pembaruan Agraria (UUPA). UU Pokok Agraria menjadi titik awal dari kelahiran hukum pertanahan yang baru mengganti produk hukum agraria kolonial.
4. Prinsip UUPA
UUPA 1960 merupakan payung hukum (Lex Generalis) bagi pengelolaan kekayaan agraria nasional. Kekayaan agraria nasional tersebut mengacu kepada Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, yang berbunyi "bumi dan air dan segala kekayaan yang terkandung di dalamnya, dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat". Undang-undang ini lahir dari semangat perlawanan terhadap kolonialisme, yang telah merampas hak asasi rakyat Indonesia selama ber-abad-abad melalui Agrariche Wet 1870.
Prinsip UUPA adalah menempatkan tanah untuk kesejahteraan rakyat. UUPA mengatur pembatasan penguasaan tanah, kesempatan sama bagi setiap warga negara untuk memperoleh hak atas tanah, pengakuan hukum adat, serta warga negara asing tak punya hak milik.
Tanggal ditetapkannya UUPA, yakni 24 September. Karena itulah kemudian setiap tanggal itu diperingati sebagai Hari Tani Nasional.
5. Kata-kata Untuk Hari Tani Nasional
Tan Malaka pernah berkata dalam bukunya 'Madilog', "Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah dan menganggap dirinya terlalu tinggi dan terlalu pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul, dan hanya memiliki cita-cita sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali".